Sakaratul Maut

TIDAK asing di telinga kita, “Setiap pertemuan, pasti ada perpisahan.” Hal tersebut tidak luput dari tawa dan tangis, akan tetapi kita harus paham dimana menempatkan tawa dan dimana kita harus menangis. Sebenarnya bukan anjuran untuk kita menangis ataupun tertawa di setiap kejadian, akan tetapi menangislah sewajarnya, dan tertawalah sekadarnya.

Saya tampilkan beberapa cerita fiksi di buku ini, salah satunya yang akan antum baca sekarang, yang insyaAllah juga menguatkan iman dan takwa kita, bukan hanya imajinasi ngalor-ngidul kata orang jawa, yang seperti cerita percintaan anak muda.
Alkisah

Tidaklah seorang suami meninggalkan istri dan anak-anaknya atas aib yang di dera selama hidup di dunia.

Wanita manja saat ini berubah mendesak menangis dan menjaga, muka cantik bagaikan ratu kini berubah menjadi sendu. Begitu pula remaja tampan di hadapan-ku, tetes demi tetes air mata mengucur di muka yang tak berdaya ini. Syahadat tampak jelas di telinga membuat hati meniru untuk melisankannya.

Sudut ruangan yang sesak dengan tetangga dan kerabat, menyuguhi tangisan dan muka layu. Mereka tampak sabar menunggu, pertanyaannya “Mungkinkah sampai detik terakhir nafas ini di hempas mereka setia menanti?” Dua, tiga tarikan nafas yang mereka kira ajal semakin mendekat, hingga syahadat tiada henti terucap. Satu jam menanti, dua jam menunggu, sampai akhirnya tetangga dan kerabat memutuskan untuk keluar satu demi satu.

Ganasnya maut tak pernah terfikirkan sebelumnya, begitu sakit yang aku derita, sungguh benar ucapan Rasul sakitnya sakratal maut sama dengan tusukan pedang.

“Sakaratul maut itu sakitnya sama dengan tusukan tiga ratus pedang” (HR Tirmidzi)

Seandainya dulu, aku tinggalkan pekerjaan demi menghadap kepada-Nya.
Seandainya dulu, aku tidak lalai dengan shalat lima waktu.
Seandainya dulu, aku dahulukan shalat dari pada kesibukan dunia yang fana.
Seandainya dulu, aku shalat berjamaah lima waktu sesuai perintah nabi-Nya.
Seandainya dulu, aku berwudlu sebelum adzan berkumandang dan menunggu shalat di awal waktu.
Seandainya dulu, aku perbanyak langkah menuju masjid untuk berjamaah demi keridoan-Nya.
Seandainya dulu, aku tidak ingin di puji karena suara yang merdu dalam mengumandangkan adzan di saban waktu.
Seandainya dulu, aku merapikan baju dan berminyak wangi sebelum shalat untuk menghadap-Nya.
Seandainya dulu, aku mantabkan wudlu untuk kesempurnaan shalat-ku.
Seandainya dulu, aku husuk dalam shalat menghadap kiblat dan hati tertuju kepada-Nya.
Seandainya dulu, aku perbanyak zikir, mungkin tidak semalang ini nasib-ku.
Seandainya dulu, aku lebih sering berdiam diri di Masjid dari pada nongkrong di warung kopi.
Seandainya dulu, aku sempatkan membaca Al-Quran dan maknanya dengan tidak menuggu waktu senggang kerja.
Seandainya dulu, aku mengaji tidak ingin di puji, tidak mengganggu orang tidur di malam yang sunyi

Kini tersisa anakku yang terus mengelus kening tetap setia menunggu, tatapan nanar yang terus iya suguhkan. Aku menyesal tidak mengajarkan ilmu tentang kematian, seperti untaian kecil yang di remehkan “Jangan tangisi Ayah ketika maut datang, tapi talqinkan ayah sebagai mana nabi mengajarkan”.

Andai saja aku kuat untuk berucap, “Janganlah gembira menikmati harta sepeninggalanku, karena harta itu sebenarnya bukan milik kita.”